JAKARTA, TEROPONG INDONESIA.com – Dalam Sidang dengan terdakwa Rochmadi Saptogiri di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Jumat (12/1/2018), Istri auditor BPK Ali Sadli, Wuryanti Yustianti mengakui kalau gaji suaminya sekitar Rp 15 juta per bulan, selain gaji itu Wuryanti menyebut kalau suaminya memiliki bisnis angkot.
“Tadi Saudara menerangkan, terkait pertanyaan Yang Mulia ada gaji per bulan antara Rp 10-15 juta. Ada tambahan juga Rp 3-5 juta. Kalau gaji suami seluruhnya Anda tahu?” tanya jaksa kepada Wuryanti dalam sidang.
“Untuk pastinya saya kurang tahu,” jawab Wuryanti.
Selanjutnya, jaksa menanyakan soal sumber pendapat lain dari Ali, Wuryanti menyebut ada usaha angkot yang sudah sejak 2005 dimiliki suaminya. Selanjutnya, jaksa menanyai soal deretan mobil mewah yang dimiliki Ali, Wuryanti pun membenarkan ada sekitar 3 mobil yang biasanya diparkir di carport rumahnya.
Selain mobil, jaksa menanyakan harga rumah yang dimiliki Ali di Kebayoran Symphoni Blok J/03 Bintaro. Wuryanti menyebut rumah itu senilai Rp 3,8 miliar. “Nilainya Rp 3,8 miliar,” ujar Wuryanti.
Dalam kasus tersebut, Ali pun sudah menjadi terdakwa. Dalam surat dakwaannya, Ali disebut memiliki sejumlah aset yang luar biasa, antara lain:
- Aset tanah dan bangunan seluas 240 m2 atas nama istrinya Wuryanti Yustianti, di Kebayoran Symphoni Blok J/03 Tangerang Selatan seharga Rp 3,85 miliar.
- Aset tanah kavling seluas 258 m2 atas nama istrinya Wuryanti Yustianti, di Kebayoran Symphoni Blok KM/A-19 Tangerang Selatan seharga Rp 3,9 miliar.
- Satu unit mobil Mercedes-Benz tipe C 250 AT (W205) CKD seharga Rp 879 juta atas nama istrinya Wuryanti Yustianti.
- Satu unit mobil Toyota Fortuner VRZ 2016 seharga Rp 494 juta atas nama M Al Amin Mustofa.
- Satu unit mobil Jeep Wrangler Rubicon 4 Door dengan cara over credit dari Rasli Syahrir Rp 150 juta sehingga mobil tersebut seharga Rp 416,97 juta.
- Satu unit mobil Honda CR-V seharga Rp 481,5 juta atas nama Cholid Fajar.
- Satu unit mobil Mercedes-Benz tipe A 44 AMG AT (W176) CBU dengan harga Rp 990 juta atas nama Afif Fadhil (anak Ali Sadli).
- Satu unit mobil Toyota Alphard Vellfire dengan harga Rp 700 juta melalui auditor BPK Choirul Anam yang dibayar secara bertahap selama 4 kali.
- Satu unit mobil BMW Premium Selection M2 Coupe seharga Rp 1,3 miliar atas nama PT ABP Nusantara, yang dibayar secara bertahap selama 6 kali.
- Satu unit mobil Honda Odyssey dengan harga Rp 700 juta yang kemudian diberikan kepada atasannya, Rochmadi Saptogiri dengan atas nama Andhika Ariyanto, yang dibayar secara bertahap selama 6 kali.
Rochmadi Saptogiri disebut membeli mobil dengan identitas fiktif. Auditor BPK itu menggunakan KTP dan NPWP palsu atas nama Andhika Ariyanto. Awalnya, jaksa pada KPK menanyakan tentang pembelian Honda Odyssey RC-17 kepada Valentino, tenaga pemasaran Honda Sunter, yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang Rochmadi. Valentino mengaku tidak mengecek keaslian NPWP yang diterimanya.
“Kalau untuk NPWP, kita nggak pernah periksa asli atau nggak. Nggak kita cek. Memang SOP di perusahaan kami nggak ngecek, pembelian dilakukan melalui pemesanan online. Ketika booking fee sudah masuk, pemesanan mobil pun dilakukan.” ucap Valentino ketika bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
“Kita kalau sistem pemesanan online saja, Jadi apabila sudah masuk booking fee, kita langsung buatkan. Kalau memang nggak ada customer tanda tangan, kita jalanin saja, saya jual-mobil bertahun-tahun tanpa ketemu orangnya, tahu-tahu pas antar mobil baru ketemu orangnya. SPK apa pun yang penting ada awal KTP dan NPWP,” imbuh Valentino.” ujar Valentino.
Mobil itu mulanya diduga milik Ali Sadli, karena pembeliannya diungkap jaksa melalui anak buah Ali Sadli, Yudy Ayodya. Yudy kemudian menginstruksikan M Natsir mengambil uang secara berturut-turut dari dia. M Natsir sendiri hanya diberi tahu mobil itu pesanan Ali Sadli.
“Saya tidak tahu Ali Sadli ditahan KPK. Mobil itu kemudian dipulangkan ke Honda Sunter, saya temui Ibu Ali (istri Ali Sadli, Wuryanti Yustianti), di rumah karena ditelepon tidak bisa. Dan Bu Ali sampaikan bahwa itu bukan mobil Ali Sadli. Tapi mobil sudah di diler. Saya konfirmasi ke Ibu, Ali Sadli pesan mobil atas nama Andhika Aryanto. Saya tak kenal Andhika katanya,” ujar sales promoter otomotif Andriyanto. (Red/Det)
Seperti diberitakan sebelumnya !
Komisi Pemberantasan Korupsi mendalami asal-usul uang suap Rp 40 juta dari total komitmen fee Rp 240 juta yang diberikan Irjen Kemendes PDT dan Transmigrasi Sugito melalui Jarot Budi Prabowo anak buahnya, guna diberikan kepada dua auditor BPK Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli.
Selain itu, penyidik juga mendalami uang senilai Rp 1,145 miliar dan USD 3 ribu yang ditemukan di laci Ali Sadli, saat melakukan penangkapan di kantor BPK.
Menurut Ketua KPK Agus Raharjo uang yang sudah disita berasal dari duit saweran yang berasal dari Dirjen-Dirjen yang ada di kementerian yang kini dipimpian Eko Putro Sandjojo. Kendati demikian, mantan Kepala LKPP tersebut belum bisa menjelaskan apakah uang-uang tersebut semuanya terkait dengan kasus dugaan penyuapan jual beli opini wajar tanpa pengecualian (WTP) yang diminta Irjen Kemendes, kepada auditor utama III BPK Rochmadi Saptogiri.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, uang Rp 240 juta diduga sebagai jatah untuk Ali Sadli,sedangkan uang Rp 1,145 miliar dan USD 3 ribu dolar jatah Rochmadi selaku si empunya proyek. Ia hanya menegaskan, modus penyuapan semacam ini sebenarnya sudah lama dilakukan, namun baru kali ini KPK bisa mengungkapnya, meskipun masih dalam tahap penyidikan.
Sebelumnya, dalam kasus suap pemberian opini WTP dari BPK ke Kemendes, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka suap. Mereka diantaranya adalah Irjen Kemendes Sugito, Eselon III Kemendes Jarot Budi Prabowo, Eselon I BPK Rochmadi Saptogiri dan Auditor BPK Ali Sadli.
Atas perbuatannya, sebagai pemberi suap, baik Sugito maupun Jarot disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan sebagai pihak penerima suap Rochmadi dan Ali disangka melanggar pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Red/Jp)